Pangeran yang Menyamar

(Sebuah Obituari)

Raden Janaka terlihat kusut. Satria lelanangin jagad itu hampir tak terlihat lagi ketampanannya. Rambutnya yang biasa di-iket gelung, dibiarkan terurai. Wajahnya pun kotor bagai tak pernah tersentuh skincare. Kumis dan jambangnya dibiarkan tumbuh liar. Bajunya lusuh dan tubuhnya dipenuhi peluh. Entah sudah berapa desa dia jelajahi dan berapa pintu dia bilangi (njajah deso milang kori). Raden Janaka memang sedang menjalani topo ngrame. Meninggalkan Ksatrian Madukara, terjun ke para kawula dan menjadi rakyat jelata. Membela yang lemah dan membantu yang kekurangan. Bertapa dalam keramaian. Satu jenis laku prihatin yang dikenal dalam masyarakat Jawa, yang konon lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan bertapa dalam kesunyian karena godaan yang lebih masif dan terstruktur.

“Aku ki sakjane Pangeran, nanging lagi nyamar” (Aku ini sebenarnya adalah seorang Pangeran yang sedang menyamar). Suparjanto, sang pangeran kita berkata kemudian ditutup dengan tawa lepasnya. Kami teman- teman sekelasnya pun ikut tergelak tak percaya. Mungkin hanya saya yang berpikir, jangan-jangan benar. Dia ksatria yang sedang menyamar dan menjalani topo ngrame.

 Lelaki bertubuh mungil, berkulit hitam manis dan dengan gurat hidung yang lancip  ini kawan kelas saya. Berbusana sederhana, (walaupun saat itu kami semua berbaju sama, hitam dan putih) selalu tampil bersahaja dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, entah dikulum atau dilepas begitu saja, sama manisnya. Kami cukup akrab, mungkin karena berasal dari daerah yang sama, walaupun dia dari negoro (kota Yogya) yang cerak ratu adoh watu (dekat dengan Ratu dan jauh dari batu) dan saya dari desa yang cerak watu adoh ratu (dekat dengan batu, jauh dari Ratu). Kesamaan kampung ini membuat kami sering pulang bersama, naik kereta Senja Ekonomi Yogyakarta dari Stasiun Senen tanpa mendapat tempat duduk hingga terpaksa tidur beralas koran di sela-sela kursi gerbong kereta.

Sikapnya yang santun dan bersahaja, senyum dan tawa yang selalu dia bawa membuat dia cepat akrab dan diterima semua orang. Walaupun kadang dia menjadi bahan rundungan (bully) namun dia terima dengan pasrah dan tertawa, lalu terlontar lagi kata-kata saktinya, aku ini adalah pangeran yang menyamar.

Naik ke tingkat dua dan tiga, kami terpisahkan kelas, yang membuat kami tak sedekat dulu lagi. Meski di luar kelas hubungan kami tetap akrab. Masih sering bercanda dan kadang masih pulang kampung bersama, menggelandang di lambung kereta. Hingga di akhir tingkat tiga, takdir memberi kesempatan saya untuk mengenal lebih dekat sang pangeran kita ini. Saya, Janto, Yulis, Atun dan Sutini yang kebetulan semua dari Yogya mendapat tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan) di Sidoarjo, ditemani satu wakil dari Mojokerto, Eka Hariono.

Kami berlima berangkat Bersama dari Terminal Umbulharjo, Yogyakarta, menaiki Bus Eka menuju Terminal Bungurasih, Surabaya dan tiba menjelang malam. Saya, Yulis dan Janto singgah dulu di Sedati, rumah kerabat Janto, seorang pilot Merpati. Atun dan Tini menginap di tempat kerabatnya. Satu setengah bulan PKL di Sidoarjo ini membuat saya tahu lebih dekat dan menyelami prinsip-prinsip Sang Pangeran kita dalam kehidupan sehari-hari.

Selama di Sidoarjo, kami lelaki berempat menumpang Bersama kakak Angkatan yang juga menumpang di rumah dinas salah seorang kasi yang tidak ditempati. Lokasinya di belakang GOR Sidoarjo dan Stadion Delta Sidoarjo yang saat itu sedang dibangun. Saya, Janto dan Yulis tinggal setiap hari, sedang Eka kadang pulang pergi dari Mojokerto. Alhamdulillah kami mendapatkan kakak kelas yang baik dan mau menampung kami. Sebagai penumpang gelap, kami tidur di mana saja. Kadang menggelar tikar di ruang tamu atau ikut tidur di kamar kakak Angkatan yang pulang kampung di akhir pekan.

Selama menjalani PKL saya menjadi mengerti bahwa kesederhanaan dan kebersahajaan Janto itu adalah prinsip hidupnya, bukan karena alasan ekonomi keluarga. Saat itu kami setara secara ekonomi, karena sudah mendapat penghasilan yang sama sejak tingkat dua. Tapi dia tetap bergaya hidup yang sama, makan seadanya dan berpenampilan sederhana. Kami semakin akrab. Dia menemani saya menjalani salah satu episode tergelap dalam hidup saya, menjadi yatim piatu di usia muda. Suatu pagi yang muram, dia membesarkan hati saya dan mengantarkan saya ke terminal dan untuk pulang ke Yogya karena ayahanda dipanggil Yang Mahakuasa.

Selepas wisuda, hubungan kami terputus. Saya penempatan di Jakarta, sedang Janto melanglang ke Ambon. Konflik yang melanda Ambon sempat membuat saya was-was dengan keselamatannya. Saya dengar kemudian dia balik ke Jurang Mangu, penempatan luar Jawa, balik ke kampus lagi lalu bertugas lagi ke Luar Jawa. Sang Pangeran kita ini mungkin ditakdirkan melanjutkan topo ngrame ke penjuru nusantara.

Pertemuan kami kembali terjadi setahun lalu, dua dasa warsa berselang. Saat dia akhirnya bertugas di Jakarta, saya masih berkelana di hutan Kalimantan. Sang Pangeran kita terbaring lemah di salah satu kamar di RSUD Budiasih. Senyum tetap menghiasi wajahnya, saat kusapa dirinya. Sehari sebelumnya dia tak sadarkan diri di kantor. Prinsip kesederhaannya membuat dia tak mau menyusahkan orang lain, sehingga dengan paksaan kepala kantor, dia akhirnya mau dibawa ke rumah sakit.

Meski lemah dia tetap bercerita disertai canda. Sudah lama gula mulai menyerang sel-sel tubuhnya, hingga mulai menjalar ke mana-mana. Diagnosa yang terlambat memperparah penyakitnya, karena dia tidak pernah mau periksa ke dokter. Takut disuntik, kata istrinya. Selama ini dia hanya mengonsumsi jamu dan obat-obat herbal.

Setelah dirawat di RSUD Budiasih, saya dengar dia mengajukan cuti besar dan menjalani perawatan di Yogyakarta. Kesehatannya pun mulai membaik, karena sudah mulai aktif bekerja kembali sebagai Fungsional Pemeriksa Pajak DI KPP PMA Tiga. Hingga seminggu lalu, kesehatannya kembali memburuk dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Lalu berita buruk itu datang juga. Sang Pangeran kita kembali ke Gusti Pangeran di sebuah hari baik, Jumat 18 Desember 2020, saat azan Ashar berkumandang di langit Yogyakarta.

Suparjanto,   terima kasih telah mengajarkan arti kesederhanaan, kebersahajaan, penerimaan akan takdir (narimo ing pandum) dan hakikat hidup sak madyo. Topo ngramemu telah usai. Penyamaranmu telah terbongkar. Saya bersaksi kamu orang yang sangat baik. Semoga segala amal baikmu diterima dan segala dosamu diampuni. Selamat bertemu dengan Pangeran yang Sejati, Allah Yang Mahakuasa.

(in memoriam Suparjanto)

[Prompt #26] Obituari

Prompt 26

— Stasiun Duren Kalibata, 07:15 WIB

Aku segera meloncat dari lambung kereta. Lima belas menit lagi mesin presensi kantor akan ditutup. Setengah berlari aku bergegas menuju kantor yang berjarak sekitar 300 meter dari stasiun.

Mataku sekali lagi bertubrukkan dengan sosok lelaki yang sudah tak asing. Kakek itu lagi. Bertopi hitam, bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek hitam. Dia terlihat asyik membolak-balik koran di tangannya. Kemarin sore, aku lihat dia di Stasiun Klender. Dengan bertelanjang dada dan celana yang sama, duduk membaca koran di peron stasiun arah menuju Bogor. Rasa penasaranku atas sosoknya kupendam dalam-dalam. Ada yang lebih penting. Aku tak boleh terlambat lagi hari ini.

 

— Stasiun Manggarai, 21:15 WIB

“Lembur sialan!” gerutuku dalam hati. Tugas yang mendadak dari kantor pusat, memaksaku pulang terlambat. Stasiun Manggarai sudah mulai sepi, Lalu lalang penumpang yang berhamburan saat berpindah peron tak terlihat lagi. Hanya tersisa berapa puluh orang yang mungkin bernasib malang sepertiku. Aku menyeberang ke peron empat. Tempat di mana kereta menuju Bekasi biasa berhenti. Kucari kursi kosong, untuk sekadar mengistirahatkan pantat dari segala penat.

Kakek itu lagi. Kakek bertopi hitam dan bertelanjang dada itu kulihat sedang membaca koran di peron tiga. Tak peduli dengan sekitar, kakek itu terus asyik dengan dunianya. Kereta yang aku nanti masih berada di Stasiun Jakarta Kota, begitu kata petugas stasiun semenit lalu. Masih cukup waktu buatku, untuk sekadar mengobati rasa penasaranku pada kakek itu.

Aku menyeberang ke peron tiga, menghampiri kakek itu.

“Permisi, Kakek sedang baca berita apa?” tegurku penuh santun.

Kakek itu bergeming. Dia tetap asyik membaca koran yang dipegangnya. Kuulangi pertanyaanku hingga tiga kali dan kuakhiri dengan tepukan halus di pundaknya.

“Kek, sedang baca berita apa?” tanyaku lagi.

Kakek itu sejenak menghentikan bacaannya, lalu menoleh perlahan. Matanya terlihat menyala saat menatapku.

“Aku sedang mencari berita kematianku,” katanya tegas.

Aku tersentak.

 

Seminggu yang Lalu

Malam sudah larut. Mobilku melaju kencang di jalanan yang sudah sepi.

Tiba-tiba.

“Brukk !!”

Dari kaca spionku, kulihat sesosok tubuh rubuh.

 

Pelaihari, 17 September 2013

— 324 kata

Mukena Terbang

akhwat-21

***

Malam berlalu hening tanpa suara. Ceracau binatang malam yang biasanya mengalun meninabobokan penghuni kampung ini pun lenyap. Desau-desau angin yang menggoyangkan dedaunan pun tak ada yang berhembus. Maemunah masih tercenung di atas dahan pohon jengkol yang banyak tumbuh di kampung ini. Mungkin ini sebabnya kampung ini dinamai Kampung Jengkol. Sebuah kampung di pinggiran Tangerang, tak jauh dari daerah Bintaro.

Tangis Mae, panggilan akrab Maemunah tanpa suara dan tanpa air mata. Air matanya tak lagi bersisa. Wajah Mae sudah tak berbentuk lagi. Matanya tinggal rongga hitam bernanah yang mengeluarkan bau busuk. Sedangkan hidung dan mulutnya sudah tak bisa lagi dipisahkan. Hanya liang yang terlihat dengan beberapa gigi yang tersisa. Namun dari wajahnya bisa terlihat kalau dia sudah putus asa. Mukena yang melekat di tubuhnya berjuntai gontai.

“Aku sudah lelah ya Allaah,” bisiknya , “bebaskan aku dari kutukan ini.”

***

Wulan berjalan terburu-buru. Langkahnya tersaruk-saruk kerikil dan batu yang bertaburan di jalan kampung yang tak pernah terguyur aspal.  Di pundaknya tergantung ransel lusuh berisikan buku Pengantar Akuntansi yang tebalnya mengalahkan tebal betisnya. Baru setengah tahun yang lalu Wulan meninggalkan desanya di pinggiran Yogyakarta untuk menuntut ilmu di sebuah sekolah kedinasan. Ancaman drop out di setiap semester rupanya telah mengalahkan ketakutannya atas segala jenis hantu. Dan malam ini dia menghabiskan sebagian malamnya di kamar kos Dewi untuk belajar akuntansi, sebuah ilmu baru baginya setelah dua tahun sibuk bergelut dengan rumus-rumus fisika dan deret unsur-unsur kimia.

Sampai di kosnya, Wulan mendapati teman-teman kosnya telah terlelap tdipeluk mimpi. Rumah kos milik Haji Sanian yang ditempatinya enam bulan terakhir ini terletak di pinggir empang tak jauh dari kampusnya. Di belakang rumah kos ini dikelilingi pohon jengkol dan pohon kecapi yang rimbun memayungi dua makam orang tua Haji Sanian. Kamar Wulan yang sempit terletak di pojok rumah berimpitan dengan kamar mandi. Di depan kamar bergelantungan segala jenis jemuran, barang-barang pribadi perempuan. Sesampainya di kamar, Wulan langsung mengempaskan tubuhnya di kasur kapuk yang sudah lapuk. Terlelap dia, tanpa sempat menunaikan shalat Isya terlebih dahulu.

***

Maemunah  termangu heran di depan jendela kamar ibunya malam itu. Matanya menjelajah isi kamar sang ibu dari balik kaca jendela yang tertutup korden dengan tidak sempurna. Ibunya tampak duduk bersimpuh dengan mengenakan mukena lusuh. Bukan sembahyang yang dilakukannya. Mulut ibunya berkomat-kamit di depan tungku yang mengeluarkan asap kemenyan yang memerihkan mata dan menyesakkan dada.

Sudah lebih sebulan ini Mae melihat tingkah laku ganjil ibunya. Namun dia tak sempat bertanya lebih lanjut kepadanya. Toko kelontong di rumahnya kian ramai saja sekarang yang membuat ibunya begitu sibuk mengurusi arus keluar masuknya uang sehingga waktu sekadar untuk bercengkerama dengan anaknya menjadi semakin berkurang. Ditambah lagi dengan kesibukan kuliah Mae yang semakin menjadi.

Larisnya toko kelontong ini agak mencurigakan baginya. Baru dibuka beberapa bulan selepas ayah Mae meninggal, kini telah mengalahkan warung-warung di komplek perumahan, bahkan beberapa minimarket kalah ramai.

Mae terjenggirat dari lamunannya, saat pintu kamar ibunya tiba-tiba berderit.

Ngapain lu ngejogrok di sini, Mae?’ tanya ibunya, sambil melepas mukena yang membungkus tubuhnya.

“Ka..kagak nape-nape, Nyak. Aye barusan dari kamar mandi,” jawab Mae terbata-bata.

“Ya udeh, sono masuk kamar terusin belajarnya,” kata ibunya sambil menggantungkam mukena lusuhnya di jemuran.

Mae pun bergegas ke kamarnya. Diktat kuliah yang sudah digelarnya di meja dari tadi tak juga masuk ke otaknya yang tengah sesak dengan syak wasangka akan tingkah laku ganjil ibunya. Rasa penasaran yang membuncah itu akhirnya tumpah. Perlahan Mae keluar dari kamarnya, lantas berjalan berjingkat ke depan kamar ibunya. Tangannya gemetar saat meraih mukena lusuh yang tergantung di jemuran. Perlahan dia masukkan tubuhnya ke dalam mukena itu, hingga tinggal tapak tangan dan mukanya saja yang terbuka.

Sesaat tak ada hal aneh yang dirasanya. Hanya ada hawa dingin yang perlahan merasuk menerobos pori-pori kulitnya. Lantas tubuhnya terasa seringan kapas. Kakinya dirasanya mulai meninggalkan ubin dingin yang dipijaknya. Bulu kuduk dan segala jenis rambut di tubuhnya meremang, saat tubuhnya sedikit goyang ditiup angin. Lalu jeritnya tertahan saat segugus angin kencang menabrak tubuhnya. Mae terlempar ke atas dengan kencang, menempus atap rumahnya yang terbuat dari asbes. Suara derak yang kencang membangunkan ibunya yang sudah terlelap. Dia terperanjat melihat atap rumahnya yang berlubang menganga dan melihat mukenanya berkelebat di gelapnya langit malam.

“Mae…!!!” jeritnya memekakkan isi rumah.

Kejadian lima tahun itu masih membekas jelas di benak Mae. Tangisnya terdengar merintih-rintih, bertepatan dengan turunnya hujan rintik-rintik yang membasahi rimbun daun pohon jengkol. Di belakang rumah kos milik Haji Sanian.

Tiba-tiba terlihat kilat berkelebat. Angin berhembus kencang. Malam itu malam Jumat Kliwon bertepatan dengan tanggal 13 September, malam yang diyakini sebagai malam keramat. Mae berpegang kuat pada dahan pohon jengkol menahan serbuan angin. Dia terus berusaha, namun akhirnya dia terhempas jatuh ke tanah, dan mukena yang dikenakannya lepas terbang mengangkasa.

Di sepertiga malam terakhir itu, doa Ibu Maemunah yang telah bertaubat didengar Sang Pencipta.

 

***

“Astaghfirullaah,” pekik Wulan tertahan, “aku belum shalat Isya.”

Wulan langsung bangkit dari ranjang bututnya, Matanya melihat jarum jam dinding yang sudah menancap di angka tiga dan  kemudian mengambil  air wudlu. Dibukanya ransel kuliahnya untuk mencari mukenanya. Wulan biasa membawa mukenanya dalam tas ketika berpergian, agar dapat menunaikan shalat di mana saja. Bolak-balik dia mengaduk seluruh isi tasnya.

“Sial, mukenaku tertinggal di kos Dewi,” pikirnya setelah tak jua menemukan mukena satu-satunya itu. Terakhir dia teringat dia pakai saat shalat Maghrib senja tadi. Dia lantas keluar kamar, menengok kamar Novi, tetangga kamarnya. Dari jendela kamarnya dia melihat Novi meringkuk pulas. Rasa iba menggelayuti tangannya yang sudah siap mengetuk pintu kamar Novi. Niat itu akhirnya dia urungkan, saat matanya tertumbuk pada sehelai kain lusuh yang tergantung di jemuran di depan kamarnya.

“Mukena siapa ini?” begitu kata hatinya. Tanpa pikir panjang, dia mulai mengenakan mukena lusuh itu. Tubuhnya terdiam sesaat, saat auratnya sudah tertutup secara sempurna. Ada angin dingin yang menyelusup dalam bulir darahnya yang meremangkan sekujur bulu di tubuhnya. Lalu tubuhnya terasa ringan, dan kakinya mulai terangkat melayang. Nafasnya tercekat saat tubuhnya mulai terayun oleh angin yang datang tiba-tiba. Ketika tiba-tiba angin  berhembus kencang, tubuhnya melayang menabrak dan mengoyak pintu kos yang hanya  terbuat dari tripleks tipis. Lantas tubuhnya melesat menembus langit malam.  Jerit pilunya menggantung di langit dan sebagian melekat di langit-langit kos dan membangunkan seisi kos.

***

Keesokan harinya, sesosok gadis ditemukan tergeletak di bawah pohon jengkol. Di belakang rumah kos milik Haji Sanian.

Mae.

Banjarbaru, Malam Jumat Kliwon, 13 September 2013

Catatan:

Cerita mukena terbang adalah sebuah  urban legend dari daerah Tangerang, yang pernah penulis dengar saat masih kuliah di sebuah kampus di daerah Bintaro. Konon ada seorang wanita yang mempelajari ilmu pesugihan, dengan menggunakan mukena sebagai perantara untuk memperoleh harta yang tidak halal.  Secara kebetulan anak perempuan wanita itu mengenakan mukena tersebut dan tiba-tiba dia terbang dan tubuhnya tidak terlihat dan sangat ringan tertiup angin ke sana- ke mari sehingga  wajah serta tubuhnya hancur karena tertabrak benda-benda yang dilewatinya. 

Nama dan tempat dalam cerita ini adalah fiksi belaka

Cerita ini diikutsertakan dalam tantangan menulis #LegendaHororLokal yang diadakan @alamguntur @indriankoto dan @jualbukusastra

Ilustrasi diperoleh dari sini

Perahu dalam Botol

perahu dalam botol

Angin laut berbisik perlahan. Lembut desaunya menyibak rambut Gwen yang terurai menerpa wajahku. Aku peluk pinggangnya lebih erat.

“Amboi indahnya matahari yang hampir tertelan senja itu, Sayang,” bisikku di telinga kanannya. Gwen menggelinjang sebentar, lalu mengangguk dan mengulum bibirku.

Sudah lebih dua pekan kami berlayar di samudera ini berdua saja. Diselingi persinggahan dan percintaan seru di pulau-pulau terpencil tak berpenghuni. Laut begitu tenang, tanpa riak-riak ombak sedikit pun. Tak ada tujuan pasti. Bulan madu nan indah.

“Kapan kita pulang, Sayang?” kata Gwen

“Kenapa? Kamu bosan dengan bulan madu ini?” balasku.

“Aku rindu daratan, kangen dengan rumah mungil tempat tinggal kita di tepi bukit itu.”

“Sabarlah sedikit. Sepekan lagi kita sampai.”

Tiba-tiba angin berhembus kencang. Ombak tinggi menerjang. Perahu terguncang-guncang. Aku tarik Gwen masuk ke dalam ruang kemudi. Aku berusaha keras menyeimbangkan perahu. Tak dinyana perahu seperti terlempar, melesat kencang di udara. Aku genggam tangan Gwen erat-erat. Namun segala dayaku sia-sia. Gwen lepas dari genggaman, saat perahu menabrak tembok raksasa.

“Prangggg!!!”

Perahu hancur berkeping-keping. Tubuhku terhempas keras. Susah payah aku bangkit dan mencari di mana Gwen berada.

Belum sempat aku berdiri tegak, mendadak terdengar suara menggelegar.

“Dasar suami hidung belang! Baru nikah dua minggu sudah punya simpanan!!”

dibuat di tanah laut, 21 agustus 2013

(196 kata — FF edisi maksa buat #MondayFlashFiction)

Sebuah Cerita dari Seberang Istana

1945-Ikada-05b

Aku masih menyeka keringat yang bergerilya di sekujur muka. Memberisihkan sampah di lapangan seluas ini benar-benar menyiksa. Tiba-tiba kulihat seorang kakek tua duduk di bawah pohon sebelahku. Tubuhnya yang renta tampak masih perkasa. Kulit layunya tampak berseri dibalut baju tentara yang sudah sobek di sana-sini dengan tiga lencana di dada kiri . Topi baja diletakkannya di atas rumput tempat duduk. Sadar kuperhatikan, kakek itu melambaikan tangannya kepadaku.

“Sini, anak muda! Aku ingin bercerita.”

DI seberang sana suasana riuh bergelora. Para pembesar negeri bersolek memperingati ulang tahun negeri. Ada yang hikmat, ada pula yang tersenyum basa-basi sambil sesekali mencari kamera televisi. Polisi dan tentara berkeliaran di sana-sini. Menghentikan kendaraan atau pejalan kaki yang coba-coba berani melintas. Tepat saat meriam berdentum tujuh belas kali, aku menepi menuju kakek tua itu.

“Aku masih ingat saat itu, kami berkumpul di tempat ini, yang dulu bernama Lapangan Ikada,” katanya memulai bercerita, sesaat setelah meriam diam.

Aku memperhatikan kata-kata yang meluncur dari mulutnya, sambil menyodorkan sebotol air bekal istriku tadi pagi kepadanya.

“Semua rakyat segala penjuru berkumpul di tempat ini. Berjejal-jejal berbaur dengan pendiri negeri. Semua bergabung memperingati sebulan kelahiran pertiwi. Tanpa jarak. Lapangan ini dikepung tentara Jepang yang belum juga angkat kaki dengan sangkur terhunus dan kendaraan lapis baja.  Namun kami tak takut mati. Pekik merdeka membahana menggetarkan jiwa. Tak seperti di seberang sana. Meriam itu menyalak untuk siapa? Sia-sia.”

Aku manggut-manggut saja menyimak ceritanya. Lalu di sebelahku duduk Wawan, pedagang asongan dan Bendot serta beberapa teman ngamennya duduk di sebelahku.

Kakek tua itu tiba-tiba berdiri. Tubuhnya yang reot dia tegakkan. Matanya tajam menatap istana. Tangannya menghormat bendera yang sedang dikibarkan di istana. Kami pun berdiri serta. Mulutnya lantang menyanyikan Indonesia Raya, sementara dari hulu matanya mengalir air yang membasahi keriput wajahnya.

“Masih jelas terngiang suara Bung Karno yang menggelegar,” ujarnya melanjutkan cerita selepas bendera berkibar perkasa di ujung istana. “Percayalah rakyat kepada Pemerintah RI. Kalau saudara-saudara memang percaya kepada Pemerintah Republik yang akan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, maka kami tetap akan mempertahankan Negara Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu kepada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan tunduk kepada disiplin” *)

“Lalu kami sambut pidato beliau dengan teriakkan “Merdeka!” bertubi-tubi. Lebih kencang dari bunyi meriam yang kau dengar tadi,” ceitanya sambil mengepalkan tangannya.

Semangat kakek itu semakin menyala, saat kami ikut berteriak “Merdeka!”.  Semakin terik mentari, semakin banyak orang datang yang mengerumuni kakek ini.

Di Istana Merdeka, mengalun lagu-lagu perjuangan yang dilantunkan dengan setengah hati. Kakek tua itu kembali berdiri, menyanyikan lagu Maju Tak Gentar mengikuti irama musik dari istana dengan lebih bertenaga.  Kami pun bernyanyi mengikutinya.

“Maju tak gentar, hak kita diserang!”

Tiba-tiba mengalun nada-nada asing dari istana. Sebuah lagu dengan irama yang sumbang di sana-sini.

“Lagu apa ini? Lagu siapa ini?” kakek tua itu berdiri. Kata-katanya meninggi.

Peserta upacara mulai meninggalkan istana, membiarkan pemain musik dan penyanyi menunaikan tugasnya. Sebagian pindah ke tempat kakek tua itu bercerita.  Lambat laun istana pun sepi. Hanya tersisa tentara dan polisi.

Kakek tua itu semakin berapi-api meneruskan ceritanya. Dia tak peduli saat kami mulai tercerai berai, saat tentara dan polisi menyerbu mengusir kami.

Sekilas kulirik topi bajanya yang tergelar di atas rumput hijau.

Bolong bekas tertembus peluru.

—— bekasi, 17 agustus 2013

*) Referensi dan gambar diambil di sini

Delapan Belas Fiksimini dan Sebuah Ancaman

jamur fm

Sudah tujuh bulan berlalu, cuma ada delapan belas fiksimini yang di-RT moderator. Ini sudah termasuk alter akun. Aku hinaaa…. aku kotorrrr !!

Check this out……

  1. Tinggal Nama. Organ tubuhnya habis diborong pembeli. – 1 Agustus 2013
  2. “Hidup itu cuma mampir minum,” katanya sebelum menghabiskan sebotol tuak. Dia lalu pergi. Melayang. – 31 Juli 2013
  3. Isya di Kolong Jembatan. “Kapan kita buka puasa, Mak?” – 8 Juli 2013
  4. Kemarin aku berdoa agar bisa terbang. Hari ini aku berjalan menembus tembok. – 2 Juli 2013
  5. Semalam suntuk dia tak bisa tidur. Pikirannya belum pulang. – 8 Juni 2013
  6. JALANAN MACET MENJELANG PERSALINAN IBU. Kota gugur dalam kandungan.  – 20 Juni 2013
  7. AKHIRNYA KUTEMUKAN JALAN KELUAR. Saat dia menguap lebar-lebar. – 19 Juni 2013
  8. Berangkat Perang. Senjata lengkap dengan topi baja telah lengket di tubuhnya. Di dalam ransel dia simpan nyawanya. – 18 Juni 2013
  9. Pascaoperasi. Aku masih terus berkedip-kedip silau. Mata srigala ini sungguh peka. – 15 Juni 2013
  10. Naik Pangkat. Setelah bekerja 10 tahun, dia menjadi manusia. – 12 Juni 2013
  11. KONTAK JODOH. Akhirnya perawan tua itu menemukan belahan jiwanya, di rubrik obituari. – 1 Juni 2013
  12. Sepasang Tangan Menengadah di Lapangan. Khusyuk doanya, meminta kepalanya kembali. –  15 Mei 2013
  13. MAKAN BESAR. “Tolong sisakan kepalaku,” ujarnya lirih. – 13 Mei 2013
  14. TAK INGIN DIBUNTUTI Ayah memotong ekornya. – 3 Mei 2013
  15. “Berita ini sebabnya?” pikir wartawan itu saat membaca berita di koran yang menutupi jenazahnya. – 24 April 2013
  16. Operasi Plastik. Sukses. Hidungnya kini mancung. Hitam. – 8 April 2013
  17. KARAM Seluruh penumpang kapal menyalamiku. Cuma aku yang selamat. – 2 April 2013
  18. TULI. Dengan kecewa dia tinggalkan rumahNya. Doa-doanya berceceran di altar. – 22 Februari 2013

Mod, aku tahu siapa kamu.

Beware !!

[Berani Cerita #23] Adopsi(al)

Romania-1990-An-orphanage-for-incurables

Sudah sepuluh tahun aku menghuni panti asuhan ini. Panti asuhan yang semakin tak terawat. Penghuni panti ini pun semakin banyak. Kamar-kamar panti tak bisa menampung lagi. Aku tidur berenam dalam kamar yang sempit dan pengap. Hanya ada satu ranjang bertingkat dua. Ridwan dan Dinar yang bertubuh kecil tidur di atas, Derry dan Dede tidur di kasur bawah. Sedangkan aku dan Joko tidur beralas tikar di lantai. Mutu makanan panti pun semakin mencemaskan. Kadang kami hanya makan sekali sehari. Tak jarang terjadi perkelahian hanya karena berebut jatah makan.

Aku heran kenapa tak ada dermawan yang mau mengadopsi anak-anak di panti ini. Cerita yang pernah aku dengar, konon setiap keluarga yang mengadopsi anak panti asuhan ini akan mengalami kesialan. Awalnya aku tak percaya. Tapi sudah beberapa anak yang diadopsi kembali lagi ke panti. Ada yang bercerita orang tua asuhnya mati kecelakaan, ada yang rumahnya terbakar dan ada pula yang tiba-tiba jatuh miskin karena usahanya bangkrut. Cerita-cerita itu menyebar seperti asap mengepung kota, hingga tak ada lagi yang mengadopsi kami. Sumbangan dari dermawan juga semakin jarang kami terima.

***

Pagi itu aku dipanggil Pak Usman, kepala panti, di ruang kerjanya.

“Ilham, kamu harus mengucap syukur kepada Allah. Besok ada orang yang ingin mengadopsimu”

Aku tertegun. Kepalaku tertunduk. Pikiranku teringat cerita-cerita buruk itu. Hatiku sebenarnya menolak tapi demi panti dan teman-teman yang lain kuanggukkan kepalaku.

Keesokan harinya aku berdandan rapi dan telah menunggu di ruang tamu panti. Lantas sebuah mobil mewah berhenti. Pak Usman ramah menyambut mereka.

“Selamat datang di panti asuhan kami Bapak dan Ibu Rajasa.”

Aku pun segera berdiri. Memasang senyum termanis dan menyalami Bapak dan Ibu Rajasa. Selepas bersalaman, mereka tampak terkejut. Kemudian mendekatiku dan melihat lebih dekat tahi lalat besar di bawah telinga kiriku.

“Anak kita Pak,” isak lirih Ibu Rajasa tiba-tiba.

Sejenak mereka terdiam dalam pelukan. Aku pun kehilangan kata-kata dan penuh kebingungan saat mereka tiba-tiba memelukku.

“Pak Usman, anak ini akan kami adopsi. Mohon segala surat-suratnya Bapak siapkan. Tiga hari lagi kami akan kembali untuk menjemputnya ke rumah kami.” kata Pak Rajasa setelah puas memelukku.

***

Tiga hari kemudian, aku dan Pak Usman menanti dengan cemas di ruang tamu panti. Hari sudah menjelang senja dan mereka belum juga tiba. Tiba-tiba handphone Pak Usman berdering. Aku masih duduk gelisah saat Pak Usman menerima telepon. Semenit kemudian beliau masuk. Wajahnya memerah sedih, lalu menghampiri dan menepuk pundakku.

“Pak Rajasa dan Ibu kecelakaan saat menuju ke sini.”

—-

396 kata

ilustrasi diambil dari sini

Susuk Nyai Wilis

angel_of_death_by_demonic101

Rumah sakit  semakin sepi. Aku masih berdiri di bangsal tempat Nyai Wilis dirawat.

Wanita renta itu terbujur lemas di ranjang. Nafasnya tampak semakin berat. Detak nadinya nyaris putus.

Hidupnya bergantung pada tabung infus dan selang oksigen.

Laura, cucu kesayangannya tertidur lelap di sampingnya.

Tiba-tiba matanya terbuka.

“Ambillah saya, Tuan!” pintanya lirih kepadaku.

Sejenak kami beradu pandang.

“Lepas susukmu!”  kataku sambil menyambar nyawa Laura.

banner-kontes-unggulan-63-300x214

Prompt #21: Dendang Tangis

cry-2546

Malam semakin larut dalam kelam. Hujan menitik perlahan dari ranting-ranting pohon. Herman masih duduk di beranda rumahnya. Kepalanya mendongak ke atas, matanya memejam. Sementara lengannya kukuh memeluk lututnya. Di telinganya tersumbat earphone dan larut dalam alunan nada. Tak berapa lama bibirnya menyunggingkan senyum puas. Lalu dia bangkit berdiri. Earphone di telinganya ia tanggalkan dan bergegas memasuki rumahnya.

“Aku kangen kamu, Nimas,” suara Herman tersendat.

Matanya berembun lagi saat dia menatap foto wanita di meja kamarnya. Tangannya lembut membelai hidung, mata, pipi, kemudian bibir wanita dalam foto itu. Foto itu dia dekap ke lapang dadanya. Herman tak kunjung bisa menutup matanya. Rindunya kepada Nimas telah menjadi hantu yang hadir di tiap relung ingatannya. Dia duduk di ranjangnya, menyumpal kembali kupingnya dengan earphone. Lalu keluar ke beranda. Duduk melipat lututnya. Menikmati dendang di gendang telinganya, dan desau angin gerimis yang menusuk-nusuk kulitnya. Begitu setiap malam, hingga pagi bertandang di depan pintu rumahnya.

**

Nimas buru-buru bangun dari ranjang. Mengenakan pakaian seadanya. Rambutnya yang masih berantakkan disisirnya lekas-lekas. Pipinya dibaluri bedak sedikit tebal untuk menutupi luka lebam yang masih memerah. Sebelum pergi di membangunkan lelaki yang masih meringkuk dalam selimut,

“Aku pergi dulu, Sayang,” bisiknya sambil tak lupa mengecup pipi laki-laki itu. Herman membuka matanya.

“Iya, besok datang lagi ya. Tangismu semalam kurang lepas. Nggak natural.”

“Iya, Sayang,” sahut Nimas dengan senyum yang tertahan.

Nimas ke luar dari rumah Herman. Tangan melambai saat ada taksi melintas. Hatinya sesungguhnya berontak. Jiwanya lelah, raganya menyerah. Dirabanya memar yang memerah di pipinya. Ada perih yang masih tersisa. Perih dan getir yang diam-diam dia nikmati. Seperti candu yang sudah menyatu dalam bulir darahnya. Mengalir mengisi otaknya yang kesepian.

Herman, lelaki yang dikenalnya setahun lalu ini memang beda. Dia bukanlah orang yang berada. Wajahnya pun biasa saja. Namun telah menawan hatinya. Tubuhnya tinggi tegap Di balik kegarangannya, dia menyimpan kerapuhan. Nimas kadang harus berperan sebagai ibu yang sabar menghentikan tangis Herman. Tapi di lain hari dia harus rela menjadi budak yang ikhlas menerima dera demi dera. Sebuah anomali. Jerat yang mengikatnya erat yang membuatnya lepas darinya. Tapi kali ini tekatnya sudah bulat.

“Aku harus meninggalkan dia.”

***

“Kamu jangan coba kabur dariku, Nimas!” bentak Herman di atas tubuh Nimas yang lemas terikat. Setelah seminggu menghindar dari Herman, semalam nasibnya tak memihak padanya. Baunya terendus Herman di salon langganannya.

“Aku capek, Man. Selama ini aku mencoba bertahan, tapi kamu memang gila!” jerit Nimas.

“Plaakk!” telapak tangan Herman menghajar pipi Nimas.

“Diam!” bentaknya menggelegar. Tangis Nimas kian lebat. Herman menyunggingkan senyum mautnya. Dia lalu mengeluarkan tape recorder dari laci mejanya.

“Menangislah yang keras, Nimas. Tak akan ada yang mendengar jeritmu di sini. Kamar ini kedap suara!”

“Kamu gila, Herman. Lepaskan aku…lepaskan!!” jerit Nimas kembali menyayat hati.

“Malam ini adalah malam yang kutunggu-tunggu, Nimas. Laguku segera selesai. Menjeritlah sepuaslah. Berdendanglah dengan tangismu. Hahahaha!” gertak Herman sambil mulai menekan tombol pada tape recordernya. Lalu suara jerit kembali membahana.

****

Herman masih dengan ritualnya di beranda rumahnya. Setelah lagu di earphone-nya usai, senyumnya kembali merekah.

Di atas bubungan rumah. Seorang wanita mengawasi Herman. Rintihnya mengalun sunyi.

—-

bekasi, di pagi yang muram – 22 juli 2013