(Sebuah Obituari)
Raden Janaka terlihat kusut. Satria lelanangin jagad itu hampir tak terlihat lagi ketampanannya. Rambutnya yang biasa di-iket gelung, dibiarkan terurai. Wajahnya pun kotor bagai tak pernah tersentuh skincare. Kumis dan jambangnya dibiarkan tumbuh liar. Bajunya lusuh dan tubuhnya dipenuhi peluh. Entah sudah berapa desa dia jelajahi dan berapa pintu dia bilangi (njajah deso milang kori). Raden Janaka memang sedang menjalani topo ngrame. Meninggalkan Ksatrian Madukara, terjun ke para kawula dan menjadi rakyat jelata. Membela yang lemah dan membantu yang kekurangan. Bertapa dalam keramaian. Satu jenis laku prihatin yang dikenal dalam masyarakat Jawa, yang konon lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan bertapa dalam kesunyian karena godaan yang lebih masif dan terstruktur.
“Aku ki sakjane Pangeran, nanging lagi nyamar” (Aku ini sebenarnya adalah seorang Pangeran yang sedang menyamar). Suparjanto, sang pangeran kita berkata kemudian ditutup dengan tawa lepasnya. Kami teman- teman sekelasnya pun ikut tergelak tak percaya. Mungkin hanya saya yang berpikir, jangan-jangan benar. Dia ksatria yang sedang menyamar dan menjalani topo ngrame.
Lelaki bertubuh mungil, berkulit hitam manis dan dengan gurat hidung yang lancip ini kawan kelas saya. Berbusana sederhana, (walaupun saat itu kami semua berbaju sama, hitam dan putih) selalu tampil bersahaja dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya, entah dikulum atau dilepas begitu saja, sama manisnya. Kami cukup akrab, mungkin karena berasal dari daerah yang sama, walaupun dia dari negoro (kota Yogya) yang cerak ratu adoh watu (dekat dengan Ratu dan jauh dari batu) dan saya dari desa yang cerak watu adoh ratu (dekat dengan batu, jauh dari Ratu). Kesamaan kampung ini membuat kami sering pulang bersama, naik kereta Senja Ekonomi Yogyakarta dari Stasiun Senen tanpa mendapat tempat duduk hingga terpaksa tidur beralas koran di sela-sela kursi gerbong kereta.
Sikapnya yang santun dan bersahaja, senyum dan tawa yang selalu dia bawa membuat dia cepat akrab dan diterima semua orang. Walaupun kadang dia menjadi bahan rundungan (bully) namun dia terima dengan pasrah dan tertawa, lalu terlontar lagi kata-kata saktinya, aku ini adalah pangeran yang menyamar.
Naik ke tingkat dua dan tiga, kami terpisahkan kelas, yang membuat kami tak sedekat dulu lagi. Meski di luar kelas hubungan kami tetap akrab. Masih sering bercanda dan kadang masih pulang kampung bersama, menggelandang di lambung kereta. Hingga di akhir tingkat tiga, takdir memberi kesempatan saya untuk mengenal lebih dekat sang pangeran kita ini. Saya, Janto, Yulis, Atun dan Sutini yang kebetulan semua dari Yogya mendapat tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan) di Sidoarjo, ditemani satu wakil dari Mojokerto, Eka Hariono.
Kami berlima berangkat Bersama dari Terminal Umbulharjo, Yogyakarta, menaiki Bus Eka menuju Terminal Bungurasih, Surabaya dan tiba menjelang malam. Saya, Yulis dan Janto singgah dulu di Sedati, rumah kerabat Janto, seorang pilot Merpati. Atun dan Tini menginap di tempat kerabatnya. Satu setengah bulan PKL di Sidoarjo ini membuat saya tahu lebih dekat dan menyelami prinsip-prinsip Sang Pangeran kita dalam kehidupan sehari-hari.
Selama di Sidoarjo, kami lelaki berempat menumpang Bersama kakak Angkatan yang juga menumpang di rumah dinas salah seorang kasi yang tidak ditempati. Lokasinya di belakang GOR Sidoarjo dan Stadion Delta Sidoarjo yang saat itu sedang dibangun. Saya, Janto dan Yulis tinggal setiap hari, sedang Eka kadang pulang pergi dari Mojokerto. Alhamdulillah kami mendapatkan kakak kelas yang baik dan mau menampung kami. Sebagai penumpang gelap, kami tidur di mana saja. Kadang menggelar tikar di ruang tamu atau ikut tidur di kamar kakak Angkatan yang pulang kampung di akhir pekan.
Selama menjalani PKL saya menjadi mengerti bahwa kesederhanaan dan kebersahajaan Janto itu adalah prinsip hidupnya, bukan karena alasan ekonomi keluarga. Saat itu kami setara secara ekonomi, karena sudah mendapat penghasilan yang sama sejak tingkat dua. Tapi dia tetap bergaya hidup yang sama, makan seadanya dan berpenampilan sederhana. Kami semakin akrab. Dia menemani saya menjalani salah satu episode tergelap dalam hidup saya, menjadi yatim piatu di usia muda. Suatu pagi yang muram, dia membesarkan hati saya dan mengantarkan saya ke terminal dan untuk pulang ke Yogya karena ayahanda dipanggil Yang Mahakuasa.
Selepas wisuda, hubungan kami terputus. Saya penempatan di Jakarta, sedang Janto melanglang ke Ambon. Konflik yang melanda Ambon sempat membuat saya was-was dengan keselamatannya. Saya dengar kemudian dia balik ke Jurang Mangu, penempatan luar Jawa, balik ke kampus lagi lalu bertugas lagi ke Luar Jawa. Sang Pangeran kita ini mungkin ditakdirkan melanjutkan topo ngrame ke penjuru nusantara.
Pertemuan kami kembali terjadi setahun lalu, dua dasa warsa berselang. Saat dia akhirnya bertugas di Jakarta, saya masih berkelana di hutan Kalimantan. Sang Pangeran kita terbaring lemah di salah satu kamar di RSUD Budiasih. Senyum tetap menghiasi wajahnya, saat kusapa dirinya. Sehari sebelumnya dia tak sadarkan diri di kantor. Prinsip kesederhaannya membuat dia tak mau menyusahkan orang lain, sehingga dengan paksaan kepala kantor, dia akhirnya mau dibawa ke rumah sakit.
Meski lemah dia tetap bercerita disertai canda. Sudah lama gula mulai menyerang sel-sel tubuhnya, hingga mulai menjalar ke mana-mana. Diagnosa yang terlambat memperparah penyakitnya, karena dia tidak pernah mau periksa ke dokter. Takut disuntik, kata istrinya. Selama ini dia hanya mengonsumsi jamu dan obat-obat herbal.
Setelah dirawat di RSUD Budiasih, saya dengar dia mengajukan cuti besar dan menjalani perawatan di Yogyakarta. Kesehatannya pun mulai membaik, karena sudah mulai aktif bekerja kembali sebagai Fungsional Pemeriksa Pajak DI KPP PMA Tiga. Hingga seminggu lalu, kesehatannya kembali memburuk dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Lalu berita buruk itu datang juga. Sang Pangeran kita kembali ke Gusti Pangeran di sebuah hari baik, Jumat 18 Desember 2020, saat azan Ashar berkumandang di langit Yogyakarta.
Suparjanto, terima kasih telah mengajarkan arti kesederhanaan, kebersahajaan, penerimaan akan takdir (narimo ing pandum) dan hakikat hidup sak madyo. Topo ngramemu telah usai. Penyamaranmu telah terbongkar. Saya bersaksi kamu orang yang sangat baik. Semoga segala amal baikmu diterima dan segala dosamu diampuni. Selamat bertemu dengan Pangeran yang Sejati, Allah Yang Mahakuasa.
(in memoriam Suparjanto)